Sumber Ilmu Fiqih Islam
Pernah ada pertanyaan tentang darimana sebenarnya ilmu fiqih itu asal mula berkembangnya. Sudah barang tentu sumber dasarnya adalah Al-Qur'an dan Hadits, kemudian dijabarkan dengan lebih kontekstual oleh sahabat nabi, dalam hal ini yang paling utama adalah dari sahabat Ali bin Abi Thalib RA.
Ali bin Abi Thalib atau dikenal juga dengan Imam Ali r.a. itu sumber dari semua madrasah fiqih yang ada di jagad raya ini, dari mulai ja’fariyah, Zaidiyah, Hanafiyah sampai madhzab Imam Ahmad bin Hanbal. Semua madzhab ini bibitnya muncul dari kecerdasan seorang sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. yang Allah s.w.t. anugerahkan kepada beliau.
Imam Abu Hanifah dan 2 sahabat sekaligus muridnya; Ya’qub Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan, belajar fiqih dari tangan ahl Bait, yaitu Imam Ja’far al-Shadiq, dan beliau mendapatkan fiqih dari ayahnya Muhammad al-Baqir. Beliau juga dari ayahnya, yaitu Ali Zainal-‘Abidin bin Husain yang merupakan cucu sayyidina Ali r.a. yang sudah barang tentu belajar dari kakeknya.
Imam Malik berguru kepada Rabi’ah al-Ra’yu, yang mana Rabi’ah berguru kepada ‘Ikrimah. Dan beliau mendapatkan fiqihnya dari tuannya, yaitu sayyidina Ibn Abbas r.a.yang juga pernah belajar dari sayyidina Ali r.a.. selain jalan itu, ada jalan lain yaitu dari sayyidina Ibn Umar r.a., salah satu Fuqaha’ al-madinah yang merupakan bibitnya madzhab Ahl Madinah (Imam Malik).
Imam al-Syafi’i, berguru ke Imam Malik, artinya punya jalan sama kepada Imam Ali r.a.. dan Madzhab al-Hanabilah yang dipimpin oleh Imam Ahmad bin Hanbal adalah murid langsung Imam al-Syafi’i. semua punya garis keilmuan kepada sayyidina Ali r.a.
Kalau madzhab zaidiyah, ya jelas, toh beliau, Imam Zaid adalah anak dari Ali Zainal-‘Abidin, yang merupakan anak dari cucunya Sayyidina Ali r.a., yaitu Husain.
Madzhab Imamiyah apalagi, mereka bukan hanya punya garis keilmuan, bahkan mereka mengaku-ngaku kalau fiqihnya itu adalah fiqih sayyidina Ali r.a., karena sang Imam adalah Imam pertama dari 12 Imam yang mereka agungkan.
Jadi bisa dikatakan bahwa sayyidina Ali r.a. adalah bapak segala madzhab fiqih. Dan memang tidak ada yang mergukan kecerdasan dan keilmuan seorang sang Imam. Bahkan Nabi Muhammad mengakui itu, dan juga para sahabat.
Beberapa contoh telah banyak disebutkan oleh ulama tentang kecerdasan sayyidina Ali r.a. ini, salah satunya ketika beliau memjadi otaku tama dalam fatwa sayyidina Umar bin Khaththab –ketika menjadi khalifah- dalam hal had (hukuman) bagi peminum khamr.
Beliau –Umar bin khathtahb- bermusyawarah dengan para petinggi sahabat terkait peminum khamr. Lalu sayyidina Ali r.a. mengatakan: “Orang mabuk itu kalau mabuk, bisa ‘ngaco’ bicaranya, kalau sudang nagco, dia akan menuduh tanpa bukti (qazaf) orang lain, maka hukumannya adalah cambuk 80 kali sebagaimana orang yang melakukan qazaf.” Dan inilah yang dijadikan regulasi hukum oleh sayyidina Umar bin khaththab.
Ada lagi, yaitu ketika sayyidina Umar meminta pendapat tentang hukuman bagi sekelompok orang yang membunuh, apakah dibunuh semua atau hanya pimpinan kelompok saja. Karena memang dalam al-Qur’an “satu nyawa dibalas satu nyawa!”, tidak dijelaskan bagaimana jika yang membunuh itu persekongkolan orang banyak.
Akhirnya Imam Ali r.a. memberi pendapat: “wahai Amirul-Mukminin, bagaiama kau melihat jika ada sekelompok orang yang mencuri unta, satu orang memegang kaki unta yang satu dan yang lainnya juga memgang bagian kaki yang lain, apakah mereka semua dipotong tangannya?” sayyidina Umar r.a. menjawab: “tentu!”, Imam Ali r.a. pun meneruskan: “nah, begitu juga dalam hal ini!”.
Itulah yang kemudian mendasari fatwa sayyidina Umar r.a. bahwa orang yang mebunuh beramai-ramai, semuanya diqishash.
Wallahu a’lam